Perlindungan data adalah praktik menjaga informasi sensitif agar terhindar dari kehilangan dan kerusakan data. Tujuannya adalah melindungi data serta memastikan ketersediaan dan kepatuhannya terhadap persyaratan peraturan.
Strategi perlindungan data yang efektif lebih dari sekadar melindungi data. Strategi ini juga mereplikasi dan memulihkan data jika terjadi kehilangan atau kerusakan. Ini karena prinsip utama perlindungan data adalah untuk melindungi data dan mendukung ketersediaan data. Ketersediaan berarti memastikan pengguna dapat mengakses data untuk operasi bisnis, bahkan jika data rusak, hilang, atau korup, misalnya dalam pelanggaran data atau serangan malware.
Fokus pada ketersediaan data ini membantu menjelaskan alasan perlindungan data terkait erat dengan manajemen data. Manajemen data adalah praktik lebih besar yang berfokus mengelola data sepanjang seluruh siklus prosesnya demi memastikan data akurat, aman, dan dapat dimanfaatkan untuk keputusan bisnis strategis.
Saat ini, strategi perlindungan data mencakup tindakan perlindungan data tradisional, misalnya fungsi pencadangan dan pemulihan data, serta rencana keberlangsungan bisnis dan pemulihan bencana (business continuity and disaster recovery, BCDR). Oleh karena itu, banyak organisasi yang mengadopsi layanan seperti pemulihan bencana sebagai layanan (Disaster Recovery as a Service, DRaaS) sebagai bagian dari strategi perlindungan data yang lebih luas.
Meskipun istilah perlindungan data dan keamanan data sering digunakan secara bergantian, keduanya adalah bidang yang berbeda dan memiliki beberapa pembeda penting.
Keamanan data adalah bagian dari perlindungan data yang berfokus melindungi informasi digital dari akses tidak sah, kerusakan, atau pencurian. Ini mencakup berbagai aspek keamanan informasi, antara lain keamanan fisik, kebijakan organisasi, dan kontrol akses.
Sebaliknya, perlindungan data mencakup semua keamanan data dan lebih intens karena menekankan ketersediaan data.
Baik perlindungan data maupun keamanan data mencakup privasi data. Privasi data berfokus pada kebijakan yang mendukung prinsip umum bahwa seseorang harus memiliki kontrol atas data pribadi miliknya, termasuk kemampuan untuk memutuskan cara organisasi mengumpulkan, menyimpan, dan menggunakan data miliknya.
Dengan kata lain, keamanan data dan privasi data merupakan bagian dari bidang perlindungan data yang lebih luas.
Untuk memahami pentingnya perlindungan data, kita ambil contoh peranan data di masyarakat kita. Kapan pun seseorang membuat profil online, melakukan pembelian di aplikasi, atau menjelajahi halaman web, dia akan meninggalkan jejak data pribadi yang terus bertambah.
Bagi bisnis, data ini sangat penting. Data membantu bisnis merampingkan operasi, melayani pelanggan dengan lebih baik, dan mengambil keputusan bisnis yang penting. Faktanya, banyak organisasi yang sangat bergantung pada data, sehingga waktu henti yang singkat atau kehilangan data dalam jumlah kecil bisa sangat merugikan operasi dan keuntungan mereka.
Menurut laporan Biaya Pelanggaran Data dari IBM, rata-rata biaya pelanggaran data global pada tahun 2023 mencapai 4,45 juta USD, yang merupakan peningkatan sebesar 15% dalam rentang tiga tahun.
Akibatnya, banyak organisasi berfokus pada perlindungan data sebagai bagian dari upaya keamanan siber yang lebih luas. Dengan strategi perlindungan data yang kuat, organisasi dapat menanggulangi kerentanan dan meningkatkan perlindungan bagi pihak mereka sendiri dari serangan siber dan pelanggaran data. Jika terjadi serangan siber, tindakan perlindungan data dapat sangat bermanfaat, karena mengurangi waktu henti dengan memastikan ketersediaan data.
Tindakan perlindungan data juga dapat membantu organisasi mematuhi persyaratan peraturan yang terus berkembang, yang mayoritas dapat menimbulkan denda besar. Sebagai contoh, pada Mei 2023, otoritas perlindungan data Irlandia menjatuhkan denda sebesar 1,3 miliar USD kepada Meta yang berbasis di California atas pelanggaran GDPR. Perlindungan data, dengan penekanan pada privasi data, dapat membantu organisasi menghindari pelanggaran semacam ini.
Strategi perlindungan data juga dapat memberikan banyak manfaat berkat manajemen siklus proses informasi (information lifecycle management, ILM) yang efektif. Contohnya adalah merampingkan pemrosesan data pribadi dan penambangan data penting yang lebih baik untuk menemukan berbagai insight penting.
Di dunia di mana data menjadi sumber kehidupan bagi banyak organisasi, makin penting bagi bisnis untuk mengetahui cara memproses, menangani, melindungi, dan memanfaatkan data penting dengan kemampuan terbaik mereka.
Menyadari pentingnya perlindungan data, pemerintah dan otoritas lainnya telah menciptakan makin banyak peraturan privasi dan standar data. Semua ini harus dipenuhi perusahaan agar dapat melakukan bisnis dengan pelanggan mereka.
Beberapa peraturan dan standar data yang paling umum meliputi:
General Data Protection Regulation (GDPR) adalah kerangka kerja privasi data komprehensif yang diberlakukan oleh Uni Eropa (UE) untuk melindungi informasi pribadi yang disebut sebagai “subjek data”.
GDPR terutama berfokus pada informasi identifikasi pribadi (personally identifiable information, PII), dan menetapkan persyaratan kepatuhan yang ketat terhadap penyedia data. GDPR mewajibkan organisasi di dalam dan di luar Eropa untuk bersikap transparan mengenai praktik pengumpulan data mereka. Organisasi juga harus mengadopsi beberapa tindakan perlindungan data khusus, seperti menunjuk pejabat perlindungan data (data protection officer) untuk mengawasi penanganan data.
GDPR juga memberikan kontrol lebih besar bagi warga negara Uni Eropa atas PII mereka, serta perlindungan yang lebih besar atas data pribadi seperti nama, nomor ID, informasi medis, data biometrik, dan lainnya. Satu-satunya aktivitas pemrosesan data yang dikecualikan dari GDPR adalah keamanan nasional atau aktivitas penegakan hukum dan penggunaan data yang murni bersifat pribadi.
Salah satu aspek GDPR yang paling mencolok adalah pendiriannya yang tidak kenal kompromi terhadap ketidakpatuhan. Peraturan ini menjatuhkan denda besar bagi mereka yang gagal menaati peraturan privasinya. Nilai denda tersebut dapat mencapai hingga 4% dari omzet global tahunan organisasi atau 20 juta EUR, tergantung mana yang lebih besar.
Health Insurance Portability and Accountability Act, atau HIPAA, disahkan di Amerika Serikat pada tahun 1996. Undang-undang ini menetapkan pedoman tentang cara entitas dan bisnis layanan kesehatan menangani informasi kesehatan pribadi (personal health information, PHI) pasien untuk menjamin kerahasiaan dan keamanannya.
Berdasarkan HIPAA, semua "entitas yang tercakup" ("covered entities") harus mematuhi standar keamanan dan kepatuhan data tertentu. Entitas ini tidak hanya meliputi penyedia layanan kesehatan dan program asuransi, tetapi juga rekan bisnis yang memiliki akses ke PHI. Layanan transmisi data, penyedia layanan transkripsi medis, perusahaan perangkat lunak, perusahaan asuransi, dan lainnya harus mematuhi HIPAA jika mereka menangani PHI.
California Consumer Privacy Act (CCPA) adalah undang-undang privasi data yang penting di Amerika Serikat.
Seperti GDPR, undang-undang ini mewajibkan bisnis untuk bersikap transparan tentang praktik data mereka dan memberikan kontrol lebih besar bagi perorangan atas informasi pribadi mereka. Berdasarkan CCPA, penduduk California dapat meminta detail tentang data pribadi mereka yang dikumpulkan oleh bisnis, memilih untuk menolak praktik penjualan data, dan meminta penghapusan data.
Namun, tidak seperti GDPR, CCPA (dan banyak undang-undang perlindungan data AS lainnya) bersifat meminta penolakan (opt-out), bukan meminta persetujuan (opt-in) pengguna. Bisnis dapat menggunakan informasi konsumen hingga secara khusus diperintahkan sebaliknya. CCPA juga hanya berlaku terhadap perusahaan yang melampaui ambang pendapatan tahunan tertentu atau menangani data pribadi dalam jumlah besar, sehingga relevan bagi banyak bisnis di California, meskipun tidak semua.
Payment Card Industry Data Security Standard (PCI-DSS) adalah seperangkat pedoman peraturan untuk melindungi data kartu kredit. PCI-DSS bukanlah peraturan pemerintah, melainkan serangkaian komitmen kontraktual yang diberlakukan oleh badan pengatur independen yang dikenal sebagai Payment Card Industry Security Standards Council (PCI SSC).
PCI-DSS berlaku untuk setiap bisnis yang menangani data pemegang kartu, baik dengan mengumpulkan, menyimpan, maupun mengirimkannya. Meskipun pemroses pihak ketiga terlibat dalam transaksi kartu kredit, perusahaan yang menerima kartu tetap bertanggung jawab atas kepatuhan terhadap PCI-DSS dan harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk mengelola dan menyimpan data pemegang kartu dengan aman.
Seiring dengan berkembangnya lingkungan perlindungan data, beberapa tren menjadi dasar bagi strategi yang digunakan organisasi untuk melindungi informasi sensitif mereka.
Beberapa tren ini meliputi:
Portabilitas data menekankan pergerakan data yang mulus di berbagai platform dan layanan. Tren ini memberi kontrol yang lebih besar bagi perorangan atas data mereka dengan memfasilitasi transfer data antara aplikasi dan sistem. Portabilitas data juga selaras dengan tren umum menuju transparansi dan pemberdayaan pelanggan yang lebih baik. Hal ini memungkinkan pengguna untuk mengelola data pribadi mereka dengan lebih efisien.
Dengan meluasnya penggunaan ponsel pintar, organisasi makin peduli dengan keamanan data pada perangkat seluler. Akibatnya, banyak bisnis yang lebih berfokus pada perlindungan data seluler. Mereka menerapkan tindakan keamanan data yang tangguh untuk ponsel cerdas dan tablet, termasuk enkripsi dan metode autentikasi yang aman.
Maraknya serangan ransomware telah menyebabkan banyak organisasi mengadopsi strategi perlindungan data tingkat lanjut.
Ransomware adalah jenis malware yang mengunci data atau perangkat korbannya dan mengancam akan tetap mengunci data tersebut, atau lebih buruk, kecuali jika korban membayar tebusan kepada penyerang. Berdasarkan IBM Security X-Force Threat Intelligence Index 2023, persentase serangan ransomware adalah 17% dari semua serangan siber yang terjadi pada tahun 2022. Selain itu, serangan ransomware diperkirakan akan menimbulkan kerugian sebesar 30 miliar USD bagi korbannya secara keseluruhan pada tahun 2023.
Sifat serangan yang terus berkembang mengharuskan organisasi untuk menerapkan tindakan keamanan proaktif seperti pencadangan rutin, deteksi ancaman real-time, dan pelatihan karyawan demi mengurangi dampak ransomware dan melindungi informasi sensitif.
Seiring makin canggihnya serangan siber, organisasi menyadari pentingnya menjaga kesinambungan saat terjadi bencana. Keadaan ini mengakibatkan banyak perusahaan yang berinvestasi dalam Disaster Recovery as a Service (DRaaS).
DRaaS adalah solusi pihak ketiga yang memberikan kemampuan perlindungan data dan pemulihan bencana (disaster recovery, DR). Solusi ini menggunakan otomatisasi umum untuk membatasi waktu henti dan mengalihdayakan layanan pemulihan bencana. Dengan begitu, organisasi mendapatkan solusi yang dapat diskalakan dan hemat biaya untuk memulihkan data penting dan infrastruktur TI mereka saat terjadi bencana.
Saat memutuskan untuk menggunakan solusi DRaaS, organisasi dapat memilih di antara tiga opsi: pusat data, solusi berbasis cloud, dan pencadangan hybrid yang menggabungkan pusat data fisik dan penyimpanan cloud.
Copy Data Management (CDM) membantu organisasi mengelola dan mengontrol data duplikat dengan lebih baik, sehingga mengurangi biaya penyimpanan dan meningkatkan aksesibilitas data. CDM merupakan bagian penting dari manajemen siklus proses informasi (information lifecycle management, ILM), karena membantu memaksimalkan nilai data sekaligus meminimalkan redundansi dan inefisiensi penyimpanan.
Organisasi sering kali menggunakan beberapa solusi dan teknologi perlindungan data untuk melindungi dari ancaman siber serta memastikan integritas, kerahasiaan, dan ketersediaan data.
Beberapa solusi ini meliputi: